Menara.co.id, Jakarta- Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Dikatakan dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman, Kejaksaan melaksanakannya secara merdeka.
“Pelaksanaan kekuasaan Negara di bidang penuntutan, Kejaksaan berwenang untuk dapat
menentukan suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan dan memiliki arti penting dalam
menyeimbangkan antara aturan yang berlaku (rechtmatigheid) serta interpretasi yang bertumpu
pada tujuan atau asas kemanfaatan (doelmatigheid) dalam proses peradilan pidana”, kata Kejagung RI ST Burhanuddin melalui siaran pers Kapuspenkum Kejagung RI, Minggu (26/2)
Disebutka dengan adanya perubahan paradigma penegakan hukum dari formalistik ke keadilan hukum substantif, sehingga Kejaksaan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, terlebih lagi diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf b dan c yang pada pokoknya mengatur turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban, serta
proses rehabilitasi, restitusi, dan kompensasinya.
“Kewenangan Jaksa dalam melaksanakan diskresi penuntutan (prosecutorial discretion), dilakukan dengan mempertimbangkan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, kearifan lokal, serta nilai-nilai moral, etika, dan keadilan dalam masyarakat. Hal ini memiliki arti
penting dalam rangka mengakomodir perkembangan kebutuhan hukum dan rasa keadilan di masyarakat, serta menuntut adanya perubahan mindset, perilaku, dan kepastian hukum yang diterima oleh masyarakat”, ujar Burhanuddin
Oleh karena itu, sebagai seorang Jaksa harus mampu menggali nilai- nilai hukum dalam masyarakat sehingga penegakan hukum mampu beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat, sebab Jaksa bukan cerobong undang-undang yang bersifat kaku, baku, dan membeku.
Sehingga Jaksa Agung sering mengimbau para Jaksa “untuk menggunakan hati nurani di setiap pengambilan keputusan dalam proses penegakan hukum, karena hati nurani tidak ada dalam buku.
“Gunakan kepekaan sosial saudara-saudara,” ujar Jaksa Agung. Hal tersebut mendasari bahwa keadilan formalistik yang dibelenggu aturan bersifat kaku demi mengejar kepastian hukum tidak lagi dapat dipertahankan” imbuhnya
Namun di era saat ini, sudah berkembang dan beradaptasi dengan kebutuhan rasa keadilan dalam masyarakat yang disebut dengan keadilan substantif.
“Ketika Jaksa Penuntut Umum harus menyatakan sikap banding atau tidak, wajib mempertimbangkan dinamika hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat selama ini dengan menggunakan standar dan syarat-syarat tertentu yang sangat ketat”, jelas Jaksa Agung
Menarik dikaji dalam kasus yang sangat prestisius dan viral belakangan ini yakni perkara Terdakwa FERDY SAMBO
dan kawan-kawan, berdasarkan survei menunjukkan 92% penduduk Indonesia yang sudah berusia 17 tahun keatas mengetahui dan mengikuti perkembangan kasus tersebut.
Bahkan salah satu stasiun televisi nasional menyatakan 50 juta views pemirsa setiap harinya menyaksikan proses persidangannya, sehingga tidak sedikit masyarakat menyampaikan ekspresinya seperti kecewa, puas, atau hanya sekedar menjadi pengikut, dan juga tidak sedikit diantara mereka membentuk fanbase.
“Fenomena tersebut merupakan representasi dari keadilan masyarakat
yang sesaat dan tentu perlu dikaji seberapa jauh dan banyak suara tersebut menjadi representasi keadilan substantif (masih menjadi perdebatan), terkadang tidak mewakili kata hati seluruhnya.”, sambungnya
Sebagai salah satu contoh yaitu penerapan restorative justice yang digali dari kearifan lokal masyarakat membangun nilai-nilai keadilan berdasarkan standar cukup ketat misalnya pelaku tindak pidana bukan residivis, perbuatan tidak berdampak luas dan adanya pemberiaan maaf dari
korban (keluarga korban), dan sebagainya.
“Tentu tidak ada tindak pidana yang identik walaupun kategori perbuatan dan pasal yang didakwakan sama. Sebab pasti memiliki perbedaan motif, motivasi, modus operandi, serta dampaknya, sehingga kita tidak bisa memberikan kriteria,
batasan, serta syarat-syarat atas keadilan yang berkembang dalam masyarakat”, tegas Burhanuddin
Semua itu sangat tergantung dari respon dan reaksi masyarakat secara luas dan masif, serta berbagai platform media juga sangat berperan dalam menggiring atau membentuk opini masyarakat
sehingga rasa keadilan itu terbentuk mulai dari opini, pendapat, dan akhirnya menjadi sebuah
Aspirasi yang berkembang begitu cepat dan masif. Pada akhirnya Jaksa sebagai dominus litis suatu perkara harus mampu membawa arah penegakan hukum khususnya tindak pidana mulai dari hulu sampai hilir (yakni mulai dari penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan, penuntutan,
proses pemeriksaan di persidangan, hingga proses eksekusi) guna mencapai arah penegakan hukum yang dapat beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat, arah penegakan hukum yang mengakomodir kepentingan masyarakat, dan arah penegakan hukum sebagai solusi
berbagai persoalan hukum di masyarakat,
“Sehingga Jaksa yang modern di masa yang akan datang bukan saja sebagai Jaksa humanis dari segi penegakan hukum, tetapi dapat menjadi bagian dari jawaban/solusi persoalan-persoalan hukum di masyarakat,” tutup Burhanuddin. (Tamb/Jos/Fs)