Menara.co.id| Medan – Perkembangan media akan semakin pesat dalam waktu dekat ini, munculnya media baru yaitu media online menimbulkan banyak reaksi di masyarakat. Media online juga termasuk media sosial. Media sosial adalah media baru yang dapat dengan mudah dibuat dan dimiliki oleh setiap individu, kelompok, atau institusi. Berkat media sosial ini, siapa saja bisa menjadi jurnalis, sehingga tidak hanya orang yang bekerja di media seperti radio, koran, dan televisi yang disebut jurnalis, tetapi disebut jurnalisme warga. Contoh media sosial yang umum digunakan adalah Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok, Whatsapp, dan lain-lain. Di media sosial, setiap orang, kelompok, atau lembaga dalam masyarakat dapat memiliki satu atau beberapa akun.
Dengan adanya akun tersebut, setiap orang dapat dengan mudah secara praktis dan cepat menyampaikan pendapat bahkan menyebarkan informasi secara bebas. Mereka menganggap bahwa fasilitas yang digunakan gratis karena terdapat bagian yang mereka kirimkan berisikan hinaan atau kata-kata yang tidak pantas untuk diketik di dalam update status, komentar dan opini pada media sosialnya. Bahkan, mereka juga bisa dengan mudah menyebarkan informasi dan berita yang belum tentu benar.
Di jejaring sosial, siapa pun dapat dengan mudah dan cepat berbagi informasi yang mereka terima dengan orang lain. Jika nilai sebenarnya dari informasi yang disebarluaskan telah diverifikasi dengan benar, itu bagus. Namun, jika informasi tersebut hanya disebarluaskan secara langsung tanpa diverifikasi kebenarannya, masalah lebih lanjut muncul karena dapat menimbulkan pencemaran nama baik jika informasi yang disebarluaskan secara langsung tidak benar.
Yang terpenting dalam hal ini adalah tersebarnya pesan-pesan di media online yang ternyata hoax atau berita bohong. Seringkali kita menjumpai sejumlah orang yang langsung membagikan dan menyebarkan berita tersebut karena mempercayai kebenaran berita tersebut tanpa terlebih dahulu mengecek kebenarannya dan ternyata berita tersebut adalah hoax. Apalagi jika berita itu terkait dengan keyakinan dan unsur keimanan atau agama, kita bisa bersalah melakukan pencemaran nama baik tanpa kita sadari.
Hal ini dipicu karena banyaknya pesan yang sering disebar dan ternyata palsu atau palsu. Contohnya berita artis-artis terkenal yang masuk Islam seperti Jackie Chan, Paris Hilton dan lain-lain, fake news daftar korban tragedi Mina. Dan ternyata memang semua data itu dimanipulasi.
Menyampaikan informasi dan berita yang diterima kepada orang lain juga merupakan proses komunikasi. Karena informasi yang akan disebarluaskan adalah pesan yang sebelumnya kita sampaikan kepada pengirim atau penerima pesan tersebut. Dalam hal ini, kajian khusus tentang etika dan filosofi komunikasi harus dilakukan.
Dari 9 teori Richard L. Johannesen, hanya 3 yang benar dengan standar etika filsafat komunikasi, yaitu:
1) Jangan menggunakan bukti palsu, artifisial, terdistorsi, atau tidak relevan untuk mendukung klaim bahkan argumen.
Dengan berita palsu, berita terkadang didukung oleh bukti seperti gambar dan informasi yang dimanipulasi. Oleh karena itu, sebelum kita mempercayai kebenaran berita tersebut, periksa terlebih dahulu apakah bukti berupa gambar dan informasi tersebut menyimpang atau tidak.
2) Jangan gunakan seruan kecil untuk mengalihkan perhatian atau mengatasi masalah. Panggilan yang sering digunakan untuk tujuan tersebut termasuk “Tuduhan Palsu” terhadap lawan; ujaran kebencian atau kefanatikan; penghinaan tidak langsung – sindiran; kata-kata yang mendapat reaksi besar, tetapi tidak ada pemikiran yang positif atau negatif.
Himbauan berita bohong yang beredar di media sosial ini biasanya berbentuk sindiran sehingga perlunya untuk bereaksi keras dan tidak mudah percaya dan kemudian menyebarkan pesan tanpa berpikir positif atau negatif.
3) Jangan menyesatkan publik dengan menyembunyikan tujuan Anda yang sebenarnya, minat pribadi, kelompok yang Anda wakili, atau posisi Anda sebagai pendukung sudut pandang tertentu.
Teori ini mengacu pada tujuan berita palsu atau penulis yang menipu, mereka menipu jurnalisme dengan tata bahasa dan kata-kata mereka yang menarik perhatian. Sehingga mereka dengan mudah mempercayai penyebaran pesan tersebut. Meski pembuat berita itu mengkhianatinya tanpa sepengetahuannya.
Ada baiknya jika terlebih dahulu diperiksa kebenaran semua informasi yang diterima, apakah pesan yang diterima sebelumnya benar, tetapi ternyata informasi tersebut hanya informasi palsu atau tidak benar kita harus dapat bertentangan langsung dengan etika komunikasi yang ada, karena pengendalian dari penyebaran pesan di jejaring sosial masih belum ketat atau terlalu liberal. (Nadhilha – Ilmu Komunikasi USU)