Menara.co.id| Medan – Paradigma Interpretasi hadir sebagai kritik terhadap paradigma positivis. Di atas segalanya, pemisahan antara peneliti dan objek penelitian dikritik. Asumsi dasar paradigma interpretatif adalah bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dengan nilai dan pengetahuan peneliti dan responden mempengaruhi hasil penelitian. Kebenaran dinegosiasikan dalam dialog antara para pihak. Melalui dialog ini, makna dan informasi dipertukarkan antara peneliti dan responden, yang mengarah pada pemahaman menyeluruh tentang fenomena tersebut.
Paradigma ini menempatkan realitas sebagai sesuatu yang dibangun secara sosial dan cair. Semua informasi yang kita ketahui dinegosiasikan dalam budaya kita, lingkungan sosial kita, dan hubungan kita dengan orang lain. Dengan demikian, berbeda dengan paradigma positivis yang menganut universalitas, hasil penelitian paradigma interpretatif bersifat kasuistis. Artinya, hasil penelitian tidak dapat menjelaskan fenomena yang sama dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda.
Kebenaran bersifat relatif, dimana kebenaran dapat berubah tergantung pada konteks ruang dan waktu. Wawancara, observasi dan analisis teks tertulis dapat digunakan dalam paradigma interpretatif. Kunci penelitian yang dilakukan dengan menggunakan paradigma ini adalah interaksi antara peneliti dan responden untuk menciptakan kesamaan pemahaman tentang realitas yang menjadi subjek penelitian.
Paradigma interpretasi mempunyai tiga aliran dalam memaknai seni budaya nusantara, yaitu ;
Pertama Aliran Referensialisme
Pandangan referensialisme menjelaskan bahwa pengertian dari karya seni juga ada di luar karya itu sendiri. Seperti yang dilihat dalam interpretasi referensialis atas karya seni yang memandang lingkungan dimana seni diciptakan dengan mempertimbangkan lingkungan budayanya, lingkungan agama, peristiwa pada saat penciptaan karya, pemeriksaan suasana politik pada saat penciptaan karya, konfrontasi dengan asal seniman, asosiasi dan sebagainya tergantung pada konteks lingkungan yang mempengaruhinya.
Kedua Aliran Formalisme
Pandangan formalisme memberi pernyataan seni hanya diartikan melalui seni itu sendiri, permaknanya dilihat dari struktur seni itu sendiri.
Ketiga Aliran Ekspresionisme
Ekspresionisme percaya bahwa seni mempunyai makna dan nilai yang berasal dari dalam yang tidak dapat dipisahkan sebab diterima melalui fungsi dan kualitas seniman serta organisasi maupun formasi seni.
Pemahaman yang komprehensif tentang makna budaya dapat memberikan acuan untuk mempelajari seni melalui terminologi budaya, karena seni adalah bagian dari budaya. Kajian aspek budaya menyangkut tiga hal, yaitu aspek sistem pengetahuan, aspek sistem simbol, dan aspek budaya material melalui manifestasi hasil budaya.
Penafsiran makna seni meliputi 3 model, aliran referensialisme, formalisme dan ekspresionisme. Ketiga aliran ini memiliki cara berpikirnya masing-masing, dan perlu kita pertimbangkan kasusnya saat menelaah benda seni yang maknanya harus diinterpretasikan. Besar kecilnya nilai estetika dan etika seni budaya nusantara memiliki paradigma tersendiri, oleh karena itu teknik penilaian seni berbeda-beda sesuai dengan ukuran masyarakat tempat seni itu berada, tergantung masyarakat pendukungnya. (Nadhilha – Ilmu Komunikasi USU)